Wednesday, March 30, 2016

LPSK kaget ketua PTUN Medan jadi justice collaborator kasus Gatot

LPSK kaget ketua PTUN Medan jadi justice collaborator kasus Gatot
Sidang Gatot Pujo Nugroho dan istri. ©2016 merdeka.com/imam buhori
Merdeka.com - Perkara suap di PTUN Medan yang membelit Gubernur Sumut nonaktif, Gatot Pujo Nugroho, telah selesai disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana KorupsiJakarta. Dalam perkara ini, ternyata hampir semua terdakwa menjadi justice collaborator.

"Ini satu perkara pertama di Indonesia, di mana mayoritas tersangka atau terdakwa menjadi justice collaborator. Dan hukuman yang dijatuhkan majelis hakim memang relatif ringan dibanding dengan OC Kaligis. Ada yang 2 tahun, ada yang 2,5 tahun, ada 3 tahun, sementara OC Kaligis dihukum 10 tahun. Ini kan memang jauh," kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai di Medan, Rabu (16/3).

LPSK tidak mempermasalahkan seseorang dinyatakan sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum, sepanjang persyaratannya terpenuhi. Jumlah terdakwa yang menjadi justice collaborator juga tidak menjadi persoalan.

Abdul Haris mencontohkan, dalam perkara suap PTUN Medan, penyidik dapat menetapkan Gatot dan istrinya sebagai justice collaborator. Semisal, keterangan keduanya diperlukan untuk menunjukkan inisiatif penyuapan itu dari OC Kaligis. Bisa jadi jika mereka tidak bicara, perkara ini tidak terungkap.

Hanya, LPSK berharap kebijakan seperti yang dibuat penyidik dan hakim pada perkara Gatot dapat dilakukan secara konsisten. "Tidak hanya untuk kasus ini, tapi juga harus untuk kasus lainnya. Karena sering juga posisi kasus seseorang serupa dengan kasus yang melibatkan Gubernur Sumut ini, tapi mereka tidak diberikan status justice collaborator," tegasnya.

Abdul Haris mengakui meski sudah ada syarat yang jelas soal siapa saja yang dapat menjadi justice collaborator, namun kewenangan memberi status itu dapat disalahgunakan. Karenanya, dia berharap aturan mengenai itu dilaksanakan secara konsisten.

Berdasarkan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, penentuan justice collaborator seharusnya berdasarkan rekomendasi LPSK. Rekomendasi dimasukkan penuntut umum ke dalam tuntutan dan diikuti oleh hakim.

"Kita agak kaget juga ketika Ketua PTUN (Medan) tahu-tahu jadi justice collaborator. Kita bingung kan ada apa ini? Jangan sampai menimbulkan kesan status itu dapat dimanfaatkan orang-orang tertentu tapi tidak dapat dilaksanakan pada terdakwa yang lain," jelasnya.

Dengan melibatkan LPSK, lembaga ini dapat memberikan penilaian objektif apakah yang bersangkutan memenuhi syarat atau tidak untuk menjadi justice collaborator.

Meski sebagian tersangka yang jadi justice collaborator dikomunikasikan dengan LPSK, namun banyak pula yang tidak melalui mekanisme ini. "Bahkan masih banyak aparat penegak hukum yang belum mengetahui aturan tentang justice collaborator yang diatur dalan UU 31 Tahun 2014," jelas Abdul Haris.

No comments:

Post a Comment