Monday, March 28, 2016

Catatan tentang Ahok, Jakarta, dan Seoul

Seoul - Anyonghaseo. Tidak hanya sejarah antara Indonesia dan Korea Selatan yang bisa mirip. Kedua ibu kota, Jakarta dan Seoul, boleh dibilang memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Yang mungkin beda hanyalah sentuhan akhirnya saja.

Ambil saja dua hal, soal pedagang kaki lima dan bus kota. Jangan pernah mengira bahwa pedagang kaki lima tidak ada di Seoul. Sangat banyak meskipun jumlahnya tidak sebejibun di Jakarta. Hampir setiap pojokan ada saja tenda kecil untuk jualan makanan matang hingga buah-buatan. Mulai dari jualan permen, tiket hingga semir sepatu.

Pedagang kali lima di Korsel (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Apalagi di daerah turis seperti Myeongdong, Namdemun dan Dongdaemun. Di sana banyak toko-toko kecil yang sedikit menjorok ke jalan. Seolah mereka menawarkan dagangannya hingga trotoar. Begitulah, tidak rapi-rapi amat.

So, bedanya dengan Jakarta, apa dong? Bukanlah di ibukota Indonesia ya mirip-mirip seperti itu. Sepintas, perbedaan itu hanya dua. Pertama, kalau di Seoul kaki lima memiliki izin yang jelas, sedangkan di Jakarta berlaku "siapa cepat dia dapat". Kedua, soal kebersihan. Di Seoul, seringkali susah mendapatkan tong sampah. Artinya, sang pembuang sampah harus mengantongi sendiri kotoran yang mau dibuang. Apalagi warung-warung itu, selalu menjaga kebersihan dan tidak mungkin buang sampah sembarangan.

Sekarang soal bus kota. Di Seoul jumlah bus kota sangatlah banyaknya. Dari dan ke jurusan manapun. Semua ada. Busnya pun mirip-mirip milik Trans Jakarta. Hanya, untuk naiknya tidak perlu di shelter khusus. Cukup menunggu di tempat pemberhentian bus.

Sama dengan Jakarta, bus di Seoul memiliki jalanan tersendiri. Yang lain boleh bermacet ria, namun bus tetap melaju, wus wus. Kualitas bus juga tidak sehebat bikinan negeri Barat namun tampak tetap terawat dan sangat layak jalan. Kalau dari sisi penuh tidaknya penumpang, ya sebelas dua belaslah dengan bus di Jakarta.

Yang signifikan lain adalah soal informasi kedatangan bus. Di Seoul, bus terkoneksi dengan internet. Maklumlah, Korsel adalah negeri Internet paling cepat di dunia. Karenanya, kedatangan bus manapun bisa dilihat atau diakses melalui aplikasi khusus yang sangat gadget friendly. Jadi, di pemberhentian bus di jalan X misalnya, maka bus Y akan diketahui datang berapa menit lagi. Bahkan, di setiap tempat pemberhentian bus, terdapat pengumuman secara elektronik berapa menit lagi bus akan tiba.

Bus seperti TransJ di Seoul (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Dalam sebuah kunjungan ke Seoul beberapa waktu yang lalu, kabarnya Ahok sangat tertarik dengan kemiripan antara Jakarta dan Seoul. Ia lebih khusus ingin agar ibukota Indonesia bisa meniru kebersihan ibukota negeri ginseng. Baik penduduk maupun pedagang kaki limanya sangat sadar akan kebersihan dan keindahan lingkungan.

Saya jadi menduga-duga bahwa Ahok dengan antusiasmenya yang tinggi, pengin juga memiliki armada bus yang cukup untuk mengangkut warganya. Bila sudah memadai maka tidak salah, atau malah benar sekali, untuk mulai menerapkan perjalanan bus berbasis internet. Dengan demikian para penumpang tidak perlu numpuk di halte Trans Jakarta, seperti ikan teri kering yang dijual di pasar ikan Muara Angke. Mereka cukup menunggu di kantor masing-masing yang sejuk sambil memyeruput kopi hangat. Tiga menit sebelum bus datang baru jalan. Wah top markotop deh.

No comments:

Post a Comment