Selesai menandatangani Nota Kesepakatan Perdamaian, pemimpin kedua kubu Kalijodo, Abdul Azis (kedua dari kiri) dan Yusman Nur (keempat ddari kiri), menyerahkan senjata tajam ke Kepala Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Utara pada tahun 2002. Penyerahan itu diterima langsung Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Andi Chairuddin P (paling kanan) didampingi Kepala Kepolisian Sektor Metro Penjaringan Ajun Komisaris Krishna Murti.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti mengaku, ia pernah ditodong dengan pistol oleh preman di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara.
Krishna menceritakannya dalam bukunya, Geger Kalijodo. Situasi itu terjadi pada sekitar Januari 2002, ketika Krishna menjabat sebagai Kapolsek Metro Penjaringan.
Semua berawal saat perkelahian terjadi di antara dua orang dari dua kelompok yang berseteru di kawasan itu, yakni kelompok Bugis dan Mandar. Peristiwa terjadi pada malam hari, tanggal 22 Januari 2002.
Krishna menceritakan, perkelahian dengan senjata yang bermula dari senggolan sepeda motor itu berakhir dengan tewasnya salah seorang dari kelompok Bugis.
"Mendengar rekannya tewas, puluhan orang dengan seketika berkumpul di tempat kejadian dengan berbagai jenis senjata tajam," tutur Krishna.
Menurut Krishna, situasi saat itu sangat genting. Saat bentrokan pecah, ia sempat menemui salah seorang yang melepaskan tembakan. Krishna kemudian melihat dan mengejar orang tersebut sambil memintanya untuk menyerahkan senjatanya.
Namun, Krishna menyebut, orang itu tidak takut dan justru balik menggertak Krishna. "Jangan ada yang mendekat. Teriak dia ke arah saya," ucap Krishna. (Baca: Cerita Krishna Murti tentang Lima "Mafia" Kalijodo)
Krishna mengatakan, situasi saat itu tidak menguntungkannya untuk melepaskan tembakan.
"Jika pelatuk itu ditarik, tamat juga riwayat saya. Kalaupun melawan dengan mencabut pistol, pasti ia lebih cepat menarik pelatuk," tutur Krishna.
Dalam kondisi tersebut, Krishna kemudian melontarkan kalimat yang ia sebut ampuh untuk meredakan tensi amarah orang yang diketahui bernama Bedul itu. Bedul diketahui merupakan pimpinan dari kelompok Bugis.
"Saya ini Kapolsek. Jika kamu tembak saya, saya mati tidak masalah karena sedang bertugas demi bangsa dan negara. Namun, kalau saya mati, Anda semua akan habis!" kata Krishna.
Krishna mengatakan, Bedul setelah itu langsung menurunkan senjata sambil melontarkan permintaan.
"Saya tahu, Bapak (adalah) Kapolsek, tetapi saya minta Bapak jangan ambil senjata saya," kata Krishna menirukan ucapan Bedul. (Baca: Geliat Kehidupan Malam di Kalijodo...)
Setelah itu, Bedul hilang pergi meninggalkan tempat kejadian. Sehari kemudian, harian Kompas menurunkan berita dengan judul "Tukang Ojek Dibunuh di Kalijodo". Dalam pemberitaan itu, penodongan terhadap Krishna turut dijelaskan.
Jumat, 22 Februari 2002, sekitar 14 tahun lalu, kerusuhan terjadi di kompleks perjudian dan prostitusi ilegal di Kalijodo, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Dalam pemberitaan harian Kompas, Sabtu (23/2/2002) disebutkan bahwa kerusuhan melibatkan dua kelompok.
Mereka saling serang sehingga tiga orang luka berat karena dibacok. Dalam peristiwa yang berlangsung pukul 02.30 sampai pukul 07.30 itu, 225 bangunan terbakar.
Kerusuhan berawal dari perkelahian kecil yang diawali lempar-lemparan botol di antara dua pihak di ruas Jalan Bidara Raya antara Gang Kambing dan Gang Mabes.
Lempar-lemparan itu sempat berhenti sebentar. Akan tetapi, ketika listrik mati, yang terjadi justru pertarungan yang diikuti pembakaran.
Tercatat, 225 rumah terbakar. Tiga korban bacok dirawat di rumah sakit. Mereka juga ditetapkan sebagai tersangka.
Selain ketiga orang tersebut, terdapat delapan tersangka lain yang diduga menjadi pemicu pertikaian. Semuanya ditahan.
Polisi menyita tujuh tombak besi, dua bambu runcing, satu besi panjang, badik, serta sejumlah pedang dan katana samurai.
Jumat, 22 Februari 2002, sekitar 14 tahun lalu, kerusuhan terjadi di kompleks perjudian dan prostitusi ilegal di Kalijodo, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Dalam pemberitaan harian Kompas, Sabtu (23/2/2002) disebutkan bahwa kerusuhan melibatkan dua kelompok.
Mereka saling serang sehingga tiga orang luka berat karena dibacok. Dalam peristiwa yang berlangsung pukul 02.30 sampai pukul 07.30 itu, 225 bangunan terbakar.
Kerusuhan berawal dari perkelahian kecil yang diawali lempar-lemparan botol di antara dua pihak di ruas Jalan Bidara Raya antara Gang Kambing dan Gang Mabes.
Lempar-lemparan itu sempat berhenti sebentar. Akan tetapi, ketika listrik mati, yang terjadi justru pertarungan yang diikuti pembakaran.
Tercatat, 225 rumah terbakar. Tiga korban bacok dirawat di rumah sakit. Mereka juga ditetapkan sebagai tersangka.
Selain ketiga orang tersebut, terdapat delapan tersangka lain yang diduga menjadi pemicu pertikaian. Semuanya ditahan.
Polisi menyita tujuh tombak besi, dua bambu runcing, satu besi panjang, badik, serta sejumlah pedang dan katana samurai.
Ada dua kelompok yang selama ini dikenal menguasai dan memiliki pengaruh kuat di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara. Dua kelompok ini adalah kelompok Bugis dan Mandar.
Dalam bukunya, Geger Kalijodo, Krishna Murti, yang kini dikenal sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dengan pangkat Komisaris Besar, menuturkan, walaupun sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, kelompok Bugis dan Mandar memiliki latar belakang kultural yang berbeda.
"Mereka mempunyai kepercayaan dan keyakinan agama serta politik yang tak seragam," kata Krishna.
Menurut Krishna, perbedaan itu tidak lepas dari ikatan kekerabatan dan kelompok keluarga masing-masing. Krishna menilai perbedaan sosio kultural ini masih mereka bawa saat sudah berada di perantauan, dalam hal ini Jakarta.
"Seperti perantau dari daerah lain, Jakarta juga menjadi tenpat hidup mereka yang kedua, setelah tanah kelahiran," ujar Krishna. (Baca: Cerita Krishna Murti tentang Lima "Mafia" Kalijodo)
Krishna menyebut dalam sejarahnya, kelompok Bugis dan Mandar tidak memiliki akar konflik. Namun, situasi tersebut tak terjadi saat keduanya berada di tanah perantauan.
Menurut Krishna, di Kalijodo, persaingan hidup dan tuntutan untuk tetap eksis membuat kelompok Bugis dan Mandar harus bersaing untuk dapat memperebutkan sumber daya kehidupan.
Krishna mengatakan perjudian memicu kelompok Bugis dan Mandar untuk saling bertarung.
"Mereka inilah jagoan-jagoan yang berkuasa atas lahan-lahan kosong di bantaran Kanal Banjir Barat maupun Kali Angke yang mereka bangun sebagai lapak judi," tutur Krishna.
No comments:
Post a Comment