Tuesday, August 4, 2015

NU dan Muhammadiyah Melawan Koruptor: Hukum Mati, Tak Boleh Disalatkan

 Dua ormas besar umat muslim di Indonesia hampir bersamaan menggelar muktamar. Muncul rekomendasi keras untuk melawan para koruptor. Mereka harus dihukum mati dan tak boleh disalatkan 

Usulan koruptor tak boleh disalatkan datang Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak dalam pidatonya di Sidang Pleno III Dinamika Wilayah dan Ortonom di Kampus Univ. Muhammadiyah Makassar, Selasa malam (4/8/2015).

"Kami merekomendasikan muktamirin mengeluarkan secara resmi fatwa muktamar, koruptor tidak perlu disalati bila meninggal dan rekomendasi bahwa seluruh ibadah yang dikerjakan para pencuri uang rakyat tidak sah," ujar Dahnil pada detikcom.

Menurut Dahnil, dua rekomendasi yang dibacakannya harus disampaikan ke publik, sebagai bentuk afirmasi action Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah harus tegas menyikapi persoalan korupsi hang menjadi masalah utama umat negeri lebih yang lebih keji dari genosida, karena pelakunya jelas dan membunuh pelan-pelan umat.

"Muhammadiyah punya obligasi moral, punya wewenang moral untuk menyampaikan hal tersebut pada umat. Bahwa korupsi bukan sekedar masalah politik, tapi ada hak publik dirampok di situ," tutur Dahnil.

Rekomendasi soal koruptor juga sudah pernah dibahas oleh ulama Nahdlatul Ulama. Rencananya, hari ini akan dibacakan di arena Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur.

Pada saat acara ulama Nusantara di Yogyakarta muncul gerakan pesantren anti korupsi. Sejumlah rekomendasi lahir dari pertemuan itu, salah satunya adalah penerapan hukuman mati bagi koruptor.

"Sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang meliputi Sanksi sosial dan moral, pemiskinan harta, ta'zir, adzab di akhirat, dan hukum maksimal berupa hukuman mati," ujar Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin.

Ishomuddin menyampaikan bahwa hukuman mati terhadap koruptor dapat ditetapkan apabila tindak pidana korupsi dan pencucian uang dilakukan ketika negara dalam keadaan bahaya, krisis ekonomi, krisis sosial, atau bahkan secara berulang-ulang.

"(Rekomendasi) Ini bermaksud memberikan warning kepada aparat penegak hukum untuk lebih serius menangani pelaku korupsi, untuk berani memberlakukan hukuman mati,"ujar Ishomuddin.

"Kami mendukung jika kondisi dan syaratnya terpenuhi. Ini sangat membahayakan dan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara," imbuhnya.

Salah seorang ulama dari Pati KH Umar Farouq menambahkan, menurut mazhab Hanafi dan Maliki hukuman mati terhadap koruptor bisa diterapkan jika dilakukan terus-menerus. Ulama Nusantara selama ini memang berhati-hati, mengingat hukuman mati berurusan dengan nyawa manusia.

"Ini sudah waktunya, pamungkasnya dikeluarkan," kata Umar Farouq.

Dalam rekomendasi yang dibacakan oleh Ishomuddin menyebutkan bahwa korupsi mencakup kejahatan yang berkaitan dengan harta benda (al-jarimah al Maliyah) seperti Ghulul (penggelapan), Risywah (penyuapan), Sariqah (pencurian), Ghashb (penguasaan ilegal), nahb (penjarahan/perampasan), khianat (penyalahgunaan wewenang), akl al-Suht (memakan harta haram), hirabah (perampokan/perompakan), dan Ghasl al Amwal al Muharromah (mengaburkan asal usul harta yang haram. Korupsi juga telah diharamkan oleh ajaran Islam yang berdasar pada Alquran, Al-Hadist, Al-Ijma', dan Al-Qiyas.

Tindak pidana pencucian uang juga mendapat perhatian besar dari para ulama. Sebelas dosa timbul dari aksi pencucian uang di antaranya karena tindakan itu merupakan persekongkolan dalam dosa dan permusuhan, membangkang terhadap pemerintah, merusak sistem ekonomi, kebohongan, dan merusak perlindungan sektor usaha.

Selain itu dosa yang ditimbulkan lainnya adalah karena merusak etos kerja produktif masyarakat, membuka peluang manipulasi dalam produksi dan konsumse, meningkatnya ekonomi biaya tinggi, mengonsumsi harta haram, mendorong tersebarnya tindak pidana, dan menghadapkan manusia pada bahaya.

Para ulama juga sepakat bahwa penyelenggara negara atau penegak hukum yang melakukan korupsi dan pencucian uang harus diperberat hukumannya. Sedangkan di sisi lain pemerintah harus melindungi dan memperkuat semua pihak yang melaksanakan jihad mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

"Alim ulama dan pondok pesantren wajib menjadi teladan dan penjaga moral melalui penguatan pendidikan nilai-nilai dan perilaku antikorupsi. Sedangkan setiap elemen masyarakat wajib menghindarkan diri dari perilaku koruptif," tutup Ishomuddin. 

No comments:

Post a Comment