Thursday, October 1, 2015

Ahok Mewariskan Transparansi dan Profesionalitas

indonesiana-hqdefault.jpg















Pada seri I rangkaian tulisan ini kita telah melihat kiprah Ahok sebagai anggota DPRD dan Bupati Belitung Timur. Kali ini kita akan menyoroti sepak terjangnya saat menjabat anggota DPR RI. Ketika mengikuti pemilihan legislatif 2009, Ahok ditempatkan di nomor urut 4 dari Partai Golkar. Dari daerah pemilihannya hanya ada jatah 3 kursi untuk diperebutkan. Ahok berhasil mengumpulkan suara terbanyak dan terpilih sebagai anggota dewan berkat perubahan sistem pembagian kursi dari nomor urut menjadi suara terbanyak. Dia duduk di komisi II.
Transparan dan Kritis
Ketika duduk di komisi II, Ahok mengusulkan persyaratan perlaporan jumlah harta kekayaan semua calon kepala daerah dan menggunakan sistem pembuktian terbalik untuk melihat apakah harta tersebut diperoleh secara legal atau illegal. Ahok selalu menyuarakan pentingnya transparansi bagi semua pejabat negara. Dengan kaya bicaranya yang ceplas ceplos dan kritis, dia sering menyulut perdebatan segit di ruang dewan saat menyoroti berbagai penyimpangan dan ketidakberesan yang telah terjadi selama puluhan tahun.
Ahok tidak hanya bicara dengan garang dan kritis, dia memberi contoh bagaimana seharusnya para anggota dewan menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan profesional. Dia membuat website pribadi agar masyarakat dapat mengakses laporan hasil kerjanya sebagai wakil rakyat. Dia juga mencantumkan secara terperinci anggaran yang dia gunakan ketika melakukan kunjungan kerja. Saat reses, misalnya, dia kembali ke Belitung Timur untuk bertemu dengan konstituennnya. Mendengarkan aspirasi mereka dan melaporkan permasalahan tersebut ke rapat dewan dan pemerintah. Sisa anggaran yang dia gunakan selama kunker dikembalikan ke bedahara dewan.
Dari hasil kunker ke daerah pemilihan, Ahok pernah menyulut sebuah kontroversi dan dilaporkan ke Badan Kehormatan Dewan karena menyuarakan laporan dan keluhan masyarakat Bangka Belitung yang ditemuinya secara pribadi dalam masa reses. Laporan ini mengenai bahaya pencemaran lingkungan yang ditimbulkan kapal hisap dalam eksploitasi timah. Basuki dianggap menghina pengusaha dari Belitung dan dilaporkan ke Badan Kehormatan DPR oleh Front Pemuda Bangka Belitung (FPB). Seperti biasa, Ahok tidak gentar dia tetap pada pendiriannya. Dia membawa masalah itu hingga ke kementerian lingkungan hidup agar bertindak menangani keluhan warga seputar pencemaran lingkungan hidup.
Tentang pembawaannya yang vocal dan kritis, Ahok bercerita dalam sebuah diskusi publik bahwa dirinya pernah ditegur fraksi agar tidak terlalu mengkritisi berbagai program yang sedang dibahas di dewan. “Kamu membuat teman-teman yang lain repot”, kata Ahok menirukan teguran tersebut. Ahok diancam akan dipindahkan ke komisi VII  jika tidak mengurangi sikap kritisnya. Ahok sedikitpun tidak gentar. Malah menantang: “Oke, lu kasih tahu tuh fraksi ya, bos-bosnya semua, nanti kalau gue di Komisi VIII, gue bongkar tuh mark up dana naik haji semuanya'. Yang bongkar non-Muslim pula," lanjut  Ahok sambil mereka ulang percakapannya dengan pembawa pesan tersebut.  Sang pembawa pesan kemudian melapor ke Fraksi Golkar dan beberapa hari kemudian,  dia kembali mendatangi Ahok dan memberitahu bahwa fraksi memberi kebebasan kepada Ahok untuk memilih komisi manapun selain komisi II.  Dengan santai Ahok menjawab, "Di komisi mana pun gue berada, pasti keberadaan gue buat lu orang sakit kepala."  Ketegasan Ahok dan keteguhan pendiriannya untuk terus menyuarakan pentingnya transparansi membuat fraksinya menyerah. Dia tidak jadi dipindahkan dari komisi II. 
Dirangkum dari berbagai sumber. Gerakan Bersih.

indonesiana-images_2014_daerah_berita_2_-_ahok_(1).jpg
Keberhasilan Basuki Tjahaja Purnama yang akrab kita kenal sebagai Ahok meniti tangga politik di Indonesia dapat dipandang sebagai cerminan dari semakin cerdasnya masyarakat dalam menggunakan hak politiknya. Agak berlawanan dengan tesis sinis dan pesimis sejumlah pengamat yang kerap menegaskan bahwa mayoritas rakyat Indonesia belum siap dengan sistem demokrasi karena masih berpegang kuat pada ikatan-ikatan primordial (identitas kedaerahan, kesukuan dan religius). Ahok tampil sebagai antitesis primordialisme dan tulisan ini akan mengkilas balik secara singkat perjalanannya menerobos sekat-sekat primordial itu untuk menunjukkan esensi dari politik: membawa kemaslahatan bagi semua masyarakat tanpa peduli latar belakang suku, agama dan daerahnya.
Kalkulasi Politik Rasional
Saya mulai mengenal Ahok ketika dia baru mulai meniti karier politiknya. Kami bertemu sebagai sesama kader Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) pimpinan Dr. Sjahrir (Alm.). Dia berniat maju sebagai calon DPRD Belitung Timur dari PIB. Tekadnya untuk maju dan bertarung di dunia politik tidak bisa lepas dari realitas pahit di daerahnya: rakyat miskin dan para pejabat korup. Dia ingin mengubah keadaan dan satu-satunya jalan efektif untuk mengubah keadaan itu adalah melalui politik. Tapi sebelum dia sampai pada tekad dan keputusan tersebut ada sebuah kisah singkat yang mendahului.
Ayah Ahok, Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam), dikenal sebagai dermawan di kampungnya. Dia sering membantu masyarakat miskin. Tapi lama kelamaan ayahnya sadar bahwa bantuan yang dia berikan kepada orang-orang miskin tersebut tidak akan mengubah keadaan. Masyarakat tetap miskin. Banyak yang tidak mampu membayar biaya berobat, biaya sekolah dan aneka kesusahan lainnya. Sementara fasilitas-fasilatas umum yang disediakan pemerintah tidak kunjung membaik. Maka dia juga mulai berpikir keras untuk mengubah keadaan itu.
Waktu itu Ahok berniat melarikan diri ke luar negeri karena tidak tahan lagi dengan kesemena-menaan penguasa yang menutup tempat usahanya. Dalam keadaan galau itu, ayahnya memberi saran agar Ahok sudi terjun ke dunia politik dan memperjuangkan nasib rakyat. Ayahnya memberi sebuah kalkulasi politik yang sangat rasional: andai kamu punya uang Rp 1 Miliar dan berniat membantu masyarakat dengan uang itu. Jika masyarakat yang butuh bantuan ada 2000 orang, masing-masing hanya dapat Rp. 500 ribu, itu hanya cukup untuk biaya hidup beberapa minggu. Setelah itu habis. Tetapi jika uang Rp 1 miliar tersebut digunakan untuk berpolitik, bayangkan jumlah uang di APBD yang bisa dikuasai untuk kepentingan rakyat.
Kalkulasi politik ayahnya mulai membuka wawasan Ahok akan pentingnya dunia politik. Terdorong oleh tekad kuat untuk membantu masyarakat miskin dengan mengubah sistem, dia akhirnya memantapkan langkah untuk meniti karier sebagai politisi. Singkat cerita, dia terpilih sebagai anggota DPRD Belitung Timur pada tahun 2003. Kurang lebih satu tahun kemudian dia berhasil menduduki kursi Bupati Belitung Timur.
Selama menjabat sebagai Bupati Ahok berhasil  melakukan program-program yang dianggap banyak orang tidak mungkin: pendidikan gratis 12 tahun, mengasuransikan semua warga Belitung Timur (sampai operasi caecar, obat-obatan, ambulans bahkan santunan kematian), pengaspalan jalan hingga pedalaman, memperbaiki ribuan rumah warga yang hampir roboh. Program-program itu menghabiskan sekitar APBD Rp. 200 Milyar. Maka benarlah kalkulasi ayahnya, jalan politik jika dilaksanakan dengan benar akan membantu rakyat dalam skala jauh lebih besar. Itu jauh lebih efektif daripada sekedar memberi bantuan uang secara langsung. Martin Luther King Jr, juga pernah berujar dan menjadi salah satu inspirasi bagi Ahok dalam menjalankan tugasnya: “Belas kasihan sejati lebih dari sekedar melemparkan koin untuk pengemis”.
Keinginan Ahok untuk membantu masyarakat dalam cakupan lebih luas menjadi stimulus utama dalam perjalanan karier politiknya ke tingkat lebih tinggi. Dia terpilih sebagai angota DPR RI dan kemudian sekarang menjadi Gubernur Jakarta (akan dibahas dalam tulisan selanjutnya).
Sesuai dengan tema tulisan ini, sangat menarik memperhatikan perkembangan wawasan politik masyarakat di tengah iklim demokrasi yang berkembang sekarang ini. Mengutip kata-kata Andi Noya, host acara talkshow Kick Andi, “Saya juga heran kenapa seorang warga keturunan Tionghoa seperti Pak Ahok bisa terpilih di Manggar yang mayoritas suku Melayu Muslim”. Keheranan Andi dan mungkin juga kita adalah juga bentuk kegembiraan karena ternyata masyarakat kita semakin cerdas melihat figure-figur yang bersih, dan memiliki kapasitas dalam memperjuangkan hak-hak mereka daripada berpedoman pada ikatan-ikatan primordial. Kita bersyukur memiliki figure seperti Ahok yang telah memberi teladan bahwa pemimpin yang bekerja dengan benar pada akhirnya akan memenangkan pertarungan. Ini tentu pendidikan politik yang sangat berharga.

Ahok dan Angka-angka

indonesiana-381197
Deretan angka dalam tabel umumnya tak menarik untuk disimak apalagi oleh orang yang sama sekali tak berkepentingan dengan tabel tersebut. Di lembaga-lembaga pendidikan, masalah angka-angka juga hanya menarik bagi segelintir pelajar. Angka-angka selalu kaku dan sering menuntut pemikiran serius, tidak bisa dipahami dengan santai sebagaimana kita memahami kalimat-kalimat surat cinta atau sebuah cerpen. Namun banyak politisi dan birokrat sangat terarik dengan angka-angka bersama dengan rincian-rincian yang rumit dalam tabel (anggaran). Bukan karena hobi, minat atau kompetensi, tapi karena angka-angka dalam tabel tersebut berhubungan langsung dengan prospek pemasukan ke “kas pribadi” dari anggaran yang mengucur tiap tahun.
Sangat wajar, selama puluhan tahun, masalah angka-angka dalam tabel anggaran pemerintah jauh dari perhatian masyarakat. Hanya menarik bari para politisi dan birokrat serta para kroninya yang punya kepentingan. Di sebuah kota super sibuk dan super padat seperti Jakarta, misalnya, masyarakat sudah terlalu letih dan sumpek dengan kemacetan, persaingan berebut rejeki dan beragam persoalan dalam kehidupan metropolitan. Maka tak ada menariknya sama sekali mengalokasikan waktu dan energi untuk menyimak, apalagi ikut memikirkan anggaran pemerintahan. Karena itulah selama puluhan tahun para politisi dan birokrat busuk leluasa “menggoreng” anggaran DKI dan menjadikannya tambang emas pribadi atawa kelompok.
Sekarang jutaan mata tertuju pada angka-angka dalam anggaran DKI Jakarta. Bukan hanya mata warga Jakarta, tapi juga warga dari daerah lain. Ketika menyimak angka-angka dalam tabel anggaran DKI hasil investigasi sebuah majalah nasional, sekonyong-konyong saya tersadar betapa hebatnya Ahok. Dia telah menyihir saya untuk ikut menyimak bahkan memikirkan apa yang selama ini sangat tidak menarik perhatian. Saya makin terkesima ketika mendapat broadcast pesan via BBM tentang kisruh anggaran DKI dari seorang anggota keluarga di kampung halaman, yang belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di Jakarta. Menurut saya, inilah salah satu sumbangan besar dari Ahok bagi bangsa ini. Dalam arti tertentu, dia telah berhasil mendidik rakyat yang abai dan masa bodoh, menjadi penduli dan kritis.
Angka-Angka dalam Komunikasi Politik
Dalam sebuah diskusi informal, sambil berseloroh seorang teman yang memiliki usaha percetakan mengaku bahwa dirinya secara ekonomis kecewa dengan sikap dan tindak tanduk Ahok. Katanya, penundaan realisasi anggaran DKI membuat omzetnya menurun drastis sebab selama ini pelanggan utamanya adalah instansi-intansi Pemda DKI. “Tapi saya selalu mencoba berpikir idealis dan akhirnya sadar Ahok melakukan yang benar” terangnya lagi. Kami tersenyum dan mulai menarik kesimpulan tentang dua jenis kebenaran dalam komunikasi politik. Kebenaran ekonomis dan kebenaran idealis.
Dua jenis kebenaran tersebut merupakan bentuk penyederhanaan versi kami sendiri dalam membedah  dua pandangan para pengamat politik tentang gaya komunikasi politik Ahok yang tak kenal kata kompromi dan tanpa tedeng aling-aling. Pandangan pertama cenderung menyalahkan atau mengkritik gaya komunikasi seperti itu. Pandangan ini dilontarkan oleh, salah satunya, Hanta Yudha dalam acara talk show dan wawancara di stasiun televisi. Dalam politik, kata Hanta, diperlukan kecakapan membangun komunikasi dan kompromi politik agar tidak terjadi kebuntuan seperti dalam proses pengesahan anggaran DKI. Kecakapan itulah menurunya yang tidak dimiliki Ahok sehingga rakyat Jakarta mesti menanggung akibatnya karena akhirnya layanan publik tehambat oleh macetnya anggaran. Dapat disimpulan tindakan seperti itu sangat merugikan secara ekonomis. Kebenaran idealis, salah satunya diwakili oleh Hamdi Muluk, melihat gaya komunikasi Ahok justru dapat dibenarkan karena lebih mengedepankan kepentingan publik, kebenaran dan kejujuran daripada etiket, sopan santun dan basa-basi politik.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menilai mana pandangan yang benar. Hanya saja, perlu kita catat bahwa politik Indonesia tidak bisa dilihat secara simplistis. Di negeri ini komunikasi, kompromi dan kerja sama politik sebagian besar dibangun berdasarkan hitungan angka-angka (untung rugi) yang sangat rumit, bukan berdasarkan perhitungan tentang yang paling benar dan terbaik bagi rakyat. Memang bisa diperdebatkan bahwa kompromi bisa juga dalam bentuk pembagian kekuasan, pemberian dukungan atau dalam bentuk lain. Tapi apapun bentuknya, pasti akan mengarah pada angka-angka. Kekuasan dan dukungan politik pada akhirnya akan dikapitalisasi menjadi angka-angka, baik dalam wujud Rupiah, Dollar atau wujud lainnya. Ahok tampaknya sangat menyadari kenyataan itu sehingga menembuh sebuah cara radikal, bukan karena tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Maka sungguh tepat dia tidak terlibat dalam kompromi politik, agar tidak terlibat dalam permainan angka-angka.

Pantaskah Membela Ahok?

indonesiana-pengadilan.jpg
Dulu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tatkala sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2013 berencana menggusur paksa PKL.  Dianggap bahwa PKL ganggu ketertiban. Sampai PKL diancam pemidanaan.
Abraham Lunggana (Lulung), anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PPP dituduh netizen, ‘preman Tanah Abang,’ bisnisnya terancam oleh Ahok. Isunya adalah blok F mahal uang sewanya (20-50 juta rupiah per tahun), lebih baik pindah ke blok G. Isu lain bahwa blok G kurang layak, lebih baik tetap di blok F.
Pada 27 Juli 2013 Effendi Gazali menyatakan, penertiban itu harus dilakukan dalam momen yang tepat, Ahok harus beri jeda dalam memberikan pernyataan keras karena hal itu mengundang reaksi keras. kemudian, sepertinya Ahok tak peduli.
Perspektif lain dalam penanganan PKL diaplikasikan oleh seorang dosen teladan Universitas Jambi, ia bikin gerobak unik bermotif batik, punya sumber listrik, bisa dikreasikan jadi lebih menarik. Ia berpandangan tak perlu gusur PKL. Karena mikroekonomi digambarkan secara jelas pada tataran perekonomian PKL ini.
Pada 2 Agustus 2013, Andrinof A Chaniago mengutarakan bahwa Ahok harus mengedepankan dialog. Ahok harus beradaptasi agar tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Apa tanggapan Ahok? Ahok malah memancing Pengadilan di Media. Awalnya bagaimana?
“Pansus MRT hanya akal-akalan supaya anggota DPRD dapat honor,” ujar Ahok. Cepat direspon Fraksi PPP DPRD DKI Jakarta, dengan meminta klarifikasi Ahok sambil meminta pimpinan DPRD DKI Jakarta memanggil Ahok. Berharap agar Ahok tidak asal bicara.
Sempat reda perseteruan lulung dengan Ahok. Bulan Juni 2014 (masih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta), Ahok bilang, “saya udah kompak dengan Pak Haji Lulung.”
Apakah redanya bertahan lama? Apakah peristiwa menjadi sangat berbeda seandainya Lulung tidak menggubris pernyataan pedas Ahok? Saya berpendapat, tidak akan terjadi gesekan antara Lulung dan Ahok. Namun yang terjadi kemudian adalah adegan saling ‘serang.’
Sedikit menambahkan  adegan saling serang tersebut yakni dalam menanggapi RUU Pilkada. Menurut Ahok RUU Pilkada seandainya disahkan, hanya akan jadikan kepala daerah budak para anggota dewan.
Menarik dicermati, kenapa Ahok selalu berkata pedas? Penulis berpendapat Ahok membidik 2017. Mengingat dahulu pada 10 September 2014 Ahok pernah menyatakan “Kalau 2017 saya terpilih lagi, saya tidak mau jadi budak DPRD.”
Lulung responsif terhadap pernyataan Ahok tentang RUU Pilkada, ia menyatakan bahwa DPRD tak terima dihina. Sehari kemudian ia bilang, Ahok harus dibinasakan kariernya. Ahok cepat membalas, “Kita liat aja siapa yang kariernya binasa?”
Ahok tuding ada oknum anggota DPRD DKI Jakarta membacking PKL di Pasar Tanah Abang. Mungkin ia menyiratkan peran Lulung, ini menurut perpektif Ahok. Lulung menyindir dengan meminta Ahok periksa kejiwaan. Ahok ‘menyerang’, dengan menganggap DPRD tidak paham Perda.
Sikap reaktif sekali lagi, kali ini Ormas Betawi melakukanaksi unjuk rasa agar Ahok minta maaf. Namun karena tidak berproses di Pengadilan maka jadilah pada kesimpulan bahwa Pengadilan Media tidak menyelesaikan masalah.
Adegan kedua yang menarik adalah, saat Mei 2014, menurut Ahok Kampung Pulu (Jakarta Timur) akan terus banjir sampai kiamat sekalipun. Ahok terkesan pesimis, ini perspektif Lulung.
Ketika sebagai Gubernur
Di Gedung DPRD Jl Kebun sirih Jakarta, pada rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta, 8 Desember 2014, Ahok dan Lulung saling lempar senyum dan tawa. Lulung menasehati Ahok, “Jangan anggap saya sebgai musuh. Kalau Anda ngomongnya kurang baik, saya sebagai mitra merasa wajib memberi masukan.” Ahok membalas, “Oh Iya, iya,” sambil senyum. Lulung mengakui, “Saya tidak menentang Ahok jadi Gubernur DKI Jakarta, karena sesuai dengan amanat konstitusi.”
Apakah reda perseteruan ini? Tidak.
Ini menurut hemat penulis tidak ada perseteruan karena agama dan yang jelas Pengadilan Media sepertinya tukang ’sabung ayam’ saja.
Ahok ngotot bahwa DPRD salah. Kemudian pada 26 Januari 2015 reaksi keras muncul, kali ini dari M. Taufik Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, politisi Partai Gerindra. Ahok dinilai oleh M Taufik sebagai Fir’aun karena cuma menonjolkan kesombongan dan marah-marah sebalum maupun pasca pelantikannya sebagai Gubernur 19 November 2014.
Bulan Februari 2015 masalah lagi. Politisi PDIP sekaligus Mendagri Tjahjo Kumolo pada 23 Februari 2015 mengatakan bahwa RAPBD 80%nya untuk belanja pegawai, sedangkan 20%nya untuk pembangunan.
Ahok membantah, “Mana ada 80%.” Saya heran kenapa Kemendagri tidak membahas hasil temuan BPKP selama 2 tahun silam tentang anggaran siluman, tambah Ahok.
Singkat histori, secara resmi, DPRD DKI Jakarta mengajukan Hak Angket atas Gubernur Ahok pada Kamis 26 Februari 2015. Apakah masa depan Ahok adalah pemecatan dirinya sebagai Gubernur? Tentu terancam. Ini tekanan kepada Ahok.
Di hari yang sama, 26 Februari 2015, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, ICW (Indonesia Corruption Watch), Firdaus Ilyas menyatakan bahwa biarkanlah publik yang menilai angaran versi siapa yang menyimpan celah korupsi. Ini jelas, pengadilan Media. Tidak lebih dari itu. Keesokan hari, Jum’at, koordinator advokasi dan investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menganjurkan DPRD mengevaluasi diri, legislator tidak memiliki kewenangan mengelola anggaran.
Pada tahun 2014, telah diinstalasikan UPS (Uninteruptable power Supply) untuk sejumlah sekolah di Jakarta Barat senilai miliaran rupiah. Ini biaya relatif, bisa dibilang wajar bisa pula dibilang tak wajar. Tergantung faktor dan elemen-elemen yang menyertainya. Proyek ini kemudian direncanakan lagi dan tercantum dalam draft RAPBD 2015. Rencana proyek ini muncul setelah RAPBD 2015 dikirim ke Mendagri pada 27 Januari 2015.
RAPBD versi DPRD DKI Jakarta diklaim Ahok berisi  anggaran siluman, lebih tepatnya rencana siluman. Jumlah biaya yang tercantum itu tiba-tiba muncul? Siapa yang memunculkannya?
Pada hari yang sama, Jum’at 26 Februari 2015, Ahok bilang, “Perseteruannya dengan DPRD karena anggaran siluman titipan DPRD DKI Jakarta harus dimasukkan ke dalam RAPBD dan berharap disahkan menjadi APBD.”
Apakah Ahok pura-pura menunjukkan sikap kompak dengan DPRD? Berikut ini aneh, Ahok mengklaim punya bukti (rekaman CCTV) bahwa dia masih berkomunikasi dengan baik bersama DPRD menunjukkan bahwa hubungannya dengan DPRD masih baik.
Nah kemudian Ahok malah menantang, “ Saya tidak takut Hak Angket DPRD, saya tidak tahu apa itu cuma ‘gertak sambal’ saja.”  Ahok menuding rencana dan biaya Siluman itu terjadi pada item angaran Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas pemadam Kebakaran dan Penanggulangan bencana, serta Dinas Pariwisata.
Ahok tegar dengan draft RAPBD versi e-budgeting. Ia mengklaim DPRD mengajukan Hak Angket karena ia menggunakan software program e-budgeting yang berisi rincian APBD yang tidak bisa diutak-atik karena yang memegang pasword adalah Ahok dan Dinas terkait.
Ahok menyatakan bahwa keputusan MK sudah jelas, DPRD punya hak budgeting tapi enggak berhak susun APBD. DPRD cuma mengawasi. Sedangkan Wakil Ketua DPRD, politisi PPP, Lulung berkata, “Legislatif tidak mempersoalkan penerapan e-budgeting. Mestinya APBD yang diserahkan eksekutif kepada Mendagri harus draft yang mencantumkan kesepakatan antar kedua pihak, termasuk hingga ke rincian satuan ketiga.” Lulung juga menampik, “Tolong diingat, itu (e-budgeting) bukan produk hukum!”
Sejauh ini adalah Pengadilan Media, memang tidak menyelesaikan masalah. Rencana dan biaya siluman yang dituding Ahok sebesar  12 Triliun Rupiah.
Kembali ke rincian satuan ketiga, e-budgeting, dan persetujuan bersama DPRD DKI Jakarta dengan Kepala Daerah. Inilah dasar untuk melihat bahwa Ahok dan DPRD sama-sama salah yakni tidak kompak atau tidak sampai kepada konklusi ‘keputusan bersama’ tentang RAPBD.
Keesokan harinya, Sabtu 28 Februari 2015, ketua Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Syahrul Yasin Limpo mengatakan bahwa tidak baik bagi pemerintah daerah, cukuplah DKI Jakarta dan Ahok yang terjadi kontraksi seperti itu. Limpo menasehati, “Gubernur dan DPRD harus kompak. Penyusunan Anggaran seharus dilakukan bersama, dengan perhitungan rasional.”
Sebelum meneliti perkataan Syahrul Yasin Limpo coba perhatikan terlebih dahulu peristiwa yang mengitari pokok masalah. Mari membaca debat di Kaskus yang judulnya Ahok Harus Lengser karena Sistem e-budgeting bisa Batasi Korupsi Parpol dan Birokrat? Malah dalam debat ini persoalan menjadi kian melebar.  Di sisi lain, perdebatannya mengarah kepada harapan agar segera dibuktikan di Pengadilan.
Kembali ke pernyataan Limpo, ketua APPSI! Penulis yakin Limpo paham (1) bahwa RAPBD yang dikirim ke Mendagri haruslah yang disepakati bersama oleh Ahok dan DPRD; (2) bahwa biaya siluman yang dicantumkan dalam RAPBD 2015 bukan bukti korupsi sebab masih tataran planning. (3) Ahok sengaja membuka praktek korupsi pada tahun 2014, artinya Ahok sudah tidak substansif lagi jika tuduhannya itu sekadar memancing ke Pengadilan Media. (4) DPRD meminta Ahok merinci anggaran sampai ke satuan tiga, ini termasuk kesalahan DPRD.
Sehingga wajar jika Limpo menasehati, “Tidak baik bagi pemerintah daerah, cukuplah DKI Jakarta dan Ahok yang terjadi kontraksi seperti itu. Gubernur dan DPRD harus kompak.”
Penulis sepakat terhadap opini, “Korupsi mau tools kayak apa juga, gak efektif. Penentu utama pencegahan korupsi bukan tools e-budgeting tapi sektor manusia sebagai user. Karena bisa saja kongkalikong legistatif dengan eksekutif.”
e-budgeting belum bisa diakses rakyat? Sejauh ini masih belum. Artinya Ahok dan DPRD masih berdebat soal rencana. Bukan soal praktek. Masalahnya ada pada tuduhan Ahok bahwa DPRD menitip rencana dan biaya siluman. Selain itu, ada pada praktek tahun 2014 seperti intalasi UPS di beberapa sekolah yang biayanya miliyaran rupiah, dan beberapa praktek lainnya.
Apa Ahok tersudut, sehingga baru sekarang momen membuka ‘aib’ DPRD DKI Jakarta? Kenapa tidak dari dua tahun lalu dilaporkan ke KPK, ketika Ahok menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta? Selanjutnya akan dibuka aib seluruh DPRD se-Indonesia? Bagaimana kejadiannya, seandainya Ahok mendiskusikan RAPBD sebelum mengirimkannya ke Mendagri. Di sini lah kelihatannya Ahok sengaja menjebak DPRD. Apakah sebenarnya Ahok hanya menjebak Lulung?
Kebencian pada Ahok apakah karena e-Budgetingnya bila diterapkan secara nasional, bisa mengancam eksistensi Parpol dan birokrat untuk peluang korupsi? Justru e-budgeting baru rencana. Silakan diterapkan! Titik fokus solusi ada pada kesepakatan bersama Ahok dengan DPRD.
Meninjau Pengdailan Media Ahok kelihatan tidak bersalah. Di bundaran HI Minggu 1 Maret 2015, sejumlah orang menyebut diri dengan ‘Teman Ahok’ mendukung Ahok yang berani membongkar indikasi korupsi dalam APBD 2015 dan dan korupsi di tahun-tahun sebelumnya. Kelirunya adalah orang melihat bahwa APBD 2015 sudah disahkan, padahal belum! Jika didiskusikan selesailah maslah ini.
Ahok yang sengaja menjebak DPRD, apakah untuk membinasakan karier Lulung, atau untuk mempopulerkan dirinya menjelang Pilkada 2017? Namun, yang jelas Pengadilan Media tidak menyelesaikan masalah. Tapi ingat, penulis tidak sanksi terhadap Media karena bagaimanapun juga Media memberikan informasi kepada publik.
Pengadilan Media bisa saja memvonis Ahok dengan ‘hukuman’ dikubur idup-idup. Ibaratkuburin jengkol. Pengadilan Media bisa juga kok memvonis DPRD DKI Jakarta dengan ‘hukuman’ dibakar idup-idup. Ibarat bakar ikan. Jelas kedudukan Pengadilan Media bukan Pengadilan sebenarnya.
Bukan Ahok vs DPRD, tapi Pengadilan Sebenarnya vs Pengadilan Media. Save Indonesia, bukan #SaveAhok, bukan #SaveDPRD! Artinya? Adalah penting, seperti kata Pak Jusuf Kalla, jadikan pembelajaran!
Mari berpartisipasi dengan Pengadilan Sebenarnya!


No comments:

Post a Comment