Friday, August 28, 2015

Begini Kerja Kerasnya Mbah Sadiman Agar Kekeringan Sirna dan Bukit Gendol Hijau

Begini Kerja Kerasnya Mbah Sadiman Agar Kekeringan Sirna dan Bukit Gendol Hijau

Hampir setiap hari, Sadiman (65) sembari pergi menyadap, membawa setidaknya satu bibit pohon beringin yang dia dapatkan tumbuh liar di areal perkampungan atau sekitar lahan pertanian warga. Selanjutnya tak cuma beringin yang dia tanam, namun juga pohon ipik, pohon bulu, pohon nangka, dan lamtoro.

"Pokoknya saya pilih pohon yang akarnya mampu mengikat air. Hingga sejauh ini untuk pohon beringin saja sudah lebih dari empat ribu pohon yang saya tanam. Kalau semua pohon yang ditanam ya sudah tak terhitung lagi. Tapi kalau 20 ribu pohon mungkin lebih. Saya tidak pernah menghitung secara pasti, karena selain menanam di lokasi baru ratusan pohon lainnya juga ditanam sebagai sulaman untuk mengganti tanaman sebelumnya yang mati," ujar pria yang akrab disapa Mbah Sadiman, Jumat (28/8/2015).

Selanjutnya Sadiman seperti ketagihan. Bahkan ketika sudah berhenti sebagai penyadap getah pinus, dia tetap terus melakukan penanaman pohon di lahan kedua bukit itu. Tak cuma mencari bibit yang tumbuh liar secara kebetulan seperti sebelumnya. Dia melakukan pembibitan di pekarangan rumahnya. 

Setelah cukup besar bibit tanaman itu dibawanya naik ke gunung untuk ditanam di lokasi-lokasi yang yang kosong. Sambil melakukan penanaman, dia juga melakukan perawatan dan memeriksa tanamam yang telah ditanam sebelumnya.

Di pekarangannya juga disemai ratusan bibit pohon jati dan pohon cengkeh, namun bukan untuk ditanam di hutan. Kepada warga desanya Sadiman menawarkan bibit tanaman produktif itu dengan cara barter. Silakan ambil satu bibit pohon jati atau cengkeh asal ditukar dengan satu bibit pohon beringin. Beringin hasil barter itulah yang nantinya akan ditanamnya di hutan lereng gunung.

"Saya tidak terbebani apapun setiap hari harus naik turun ke hutan untuk menanam dan merawat pohon-pohon itu. Toh sekalian jalan saja, karena tanpa itupun saya juga harus ke hutan untuk mencari rumput. Istri saya juga tidak mempersoalkannya, karena setiap pulang ke rumah saya juga menbawa pulang kayu bakar kering dari hutan untuk memasak. Jadi kalau pulang saya bawa rumput dan kayu bakar," papar Mbah Sadiman

"Saya tak pernah berpikir untuk bisa memetik hasil kerja saya ini. Bahkan ketika nanti saya sudah tiada, saya juga tak ingin diperlakukan berlebihan. Saya hanya ingin berbuat kebaikan bagi sesama selama saya masih bisa. Saya pasti senang kalau didukung, tapi sebenarnya asal tidak diganggu saja sebenarnya saya sudah cukup senang meskipun itu masih juga sering terjadi."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari Sadiman, lelaki tua asal Dusun Dali, Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri, Jateng, saat ditemui detikcom, Kamis (27/8/2015).

Wajahnya sudah terlihat sepuh, giginya sudah banyak yang tanggal, namun semangat menyala-nyala masih tercermin dari kilatan padangan matanya. Jangan tanya lagi soal kemampuan fisiknya, kaki lelaki 65 tahun itu layaknya tak menapak tanah ketika harus naik turun gunung meskipun sembari memikul beban. Napasnya tetap teratur, tak tersengal-sengal.

Mbah Sadiman, demikian dia biasa disapa, memang hanya warga biasa di kampungnya. Bahkan rumah 9 x 6 meter berlantai tanah yang dia huni bersama istrinya seperti terselip di antara rumah-rumah warga lain yang cukup besar dan kokoh. Dia dan istri menghidupi diri sebagai petani penggarap lahan tumpangsari di areal Perhutani. Yang paling menopang hidupnya adalah menjual rumput di areal hutan untuk dijual di pasar.

Yang istimewa dari Mbah Sadiman adalah dedikasinya kepada lingkungan. Sendirian lelaki tua ini melakukan penanaman pohon-pohon pengikat air di areal lahan hutan, lahan milik negara yang hasilnya pasti tak akan dinikmatinya. Bukan setahun dua tahun dia melakukan itu, namun sudah 19 tahun terakhir. Bukan pula hanya menanam, namun juga marawat dan membesarkannya. Termasuk menyulami atau menanaminya lagi jika tanaman sebelumnya mati. Dia melakukannya sendirian.

Luasan areal yang dia tanami tak kurang dari 100 hektar lahan hutan di Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan, yang merupakan lereng Gunung Lawu sisi tenggara. Jaraknya sekitar 100 km dari Kota Solo. Lokasi tersebut merupakan kawasan perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur.

Sadiman memaparkan ketika masih kanak-kanak dia merasakan sendiri sumber air yang cukup melimpah bersumber dari kedua bukit tersebut. Namun sumber air itu semakin berkurang ketika kayu-kayu hutan di kedua bukit dijarah warga untuk dijadikan bahan bangunan maupun dijual.

Puncak dari kerusakan hutan di kedua bukit itu, kata dia, terjadi pada tahun 1964 ketika terjadi kebakaran besar. Seluruh tanaman di hutan itu hangus terbakar. Kondisi hutan gundul itu dibiarkan selama bertahun-tahun sehingga sumber air semakin kritis. Banyak lahan pertanian yang dibiarkan karena kesulitan air, bahkan warga dan ternak mengalami kekurangan air bersih.

Pemerintah kemudian memutuskan untuk menghijaukan kembali Bukit Gendol dan Ampyangan dengan membuat hutan produktif. Kedua bukit itu dijadikan hutan pinus di bawah pengawasan Perhutani. Selama bertahun-tahun Sadiman bekerja sebagai penyadap getah pinus.

"Setiap hari saya naik gunung ini, saya amati dan saya pikirkan kondisinya. Ternyata pohon pinus tidak banyak membantu mengikat air alam. Jika penghujan sering banjir, jika kemarau tetap saja kami kekurangan air. Setelah itu sejak tahun 1996 saya putuskan untuk menanam pohon beringin di lokasi-lokasi yang tidak ada tanamannya. Saya minta izin penjaga hutan, ternyata diperbolehkan," ujarnya.

Ikuti terus kisah Mbah Sadiman pahlawan penghijauan. Karena dedikasinya menanam pohon beringin, wilayah itu kini tak pernah kekeringan. 

Contohlah Mbah Sadiman (65), dia punya cita-cita mulia, sudah belasan tahun menanami bukit Gendol yang gersang dengan beringin. Kini Dusun Dali, Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri, Jateng yang dahulu kekeringan kini banjir air. Akar beringin menyimpan air dan menghidupi warga di musim kemarau.

Namun niatan baik Sadiman bukan berarti tanpa kendala. Seringkali dia harus berhadapan dengan perilaku warga penyewa lahan Perhutani yang merasa terganggu oleh kegiatan Sadiman. Lahan milik Perhutani di kawasan tersebut memang boleh disewa oleh warga dengan syarat tidak menebang pohon pinus. Oleh warga, sela-sela pohon pinus biasanya ditanami rumput gajah yang selanjutnya akan dijual sebagai pakan ternak.

Di lahan itulah kadang Sadiman berhadapan dengan kepentingan jangka pendek warga. Pohon beringin yang ditanam Sadiman setelah besar nantinya dianggap akan mengganggu pertumbuhan rumput gajah karena mengurangi pencahayaan matahari sampai pada tanaman rumput. Karena itu seringkali warga sengaja memotong beringin dengan berbagai alasan.

"Saya sering melihat beringin saya dipotong. Kalau sudah begitu ya sudah, saya tanami lagi. Saya ingatkan penggarapnya agar tidak dipotong lagi, tapi nanti lain hari ya dipotong lagi. Sekarang saya sengaja tambahi, di sekitar pohon beringin saya tanami pohon andong merah. Maksud saya sebagai peringatan agar kalau menyabit rumput bisa lebih berhati-hati karena di dekat pohon andong itu ada beringin. Tapi ternyata tetap juga banyak beringin yang dipotong bahkan sekalian dengan andongnya. Kalau sudah begitu ya saya tanami lagi. Saya tidak akan bosan melakukannya," kata Sadiman, Kamis (27/8).
Mbah Sadiman Tak Pernah Patah Semangat Saat Pohon Penghijauannya Dipotong Warga
Beberapa tahun lalu, Sadiman muncul ide untuk menanam bibit lamtoro gung secara besar-besaran di gunung. Pertimbangannya lamtoro merupakan tanaman yang mudah hidup, mengikat air, bijinya banyak dan mudah tumbuh sendiri sehingga akan cepat berkembang biak semakin banyak.

Untuk mewujudkan ide itu, Sadiman menemui Camat Bulukerto saat itu. Niatan menanam lamtoro itu diutarakannya, kepada Pak Camat dia meminta bantuan agar dibelikan 10 kg biji lamtoro kering yang akan dia semai lalu ditanam di gunung. Bukannya disambut baik, Pak Camat hanya memberi uang Rp 20 ribu kepada Sadiman untuk ongkos pulang.

"Saya lalu putuskan untuk mewujudkannya sendiri. Saya menabung untuk membeli 20 Kg biji lamtoro lalu saya semai di pekarangan. Selanjutnya setelah umurnya siap tanam, bibit itu saya bawa naik untuk saya tanam di bukit. Saya semakin yakin bahwa memang saya harus melaksanakan sendiri niatan saya menghijaukan bukit ini, tanpa tergantung pada siapapun," tegasnya.

"Saya juga menjual dua ekor kambing saya untuk menyewa lahan perhutani. Di lahan seluas seperempat hektar itu khusus saya gunakan untuk persemaian pohon beringin. Saya semaikan di bukit agar mudah memindahkannya ke lahan di dekatnya. Saya sudah cukup senang, sekarang tekad saya itu sudah membuahkan hasil karena sumber air kembali mengalir seperti kita saya masih kecil dulu," urai dia. 

Apa yang dilakukan Mbah Sadiman (65) menanami lahan gundul di Bukit Gendol, Wonogiri dulu banyak disepelekan warga. Tapi belasan tahun kemudian, warga merasakan banyak manfaatnya. Sadiman sukses membawa kembali air yang hilang dari Bukit Gendol.

Kali di tengah bukit bahkan tetap mengalir deras di puncak musim kering seperti sekarang. Bukan hanya cukup untuk mengairi lahan pertanian di bawah gunung, air pegunungan yang bersih dan sejuk itu juga disalurkan dengan pipa-pipa untuk kebutuhan air bersih bagi warga dua desa yaitu Desa Geneng dan Desa Conto yang berada persis di kaki bukit.

"Ada 650 kepala keluarga di dua desa ini sangat tergantung pada keberadaan air bersih dari sungai Bukit Gendol. Orang yang selama ini tidak peduli bahkan sering mengganggu pohon beringin yang ditanam Mbah Sadiman itu sebenarnya juga bergantung pada sumber air bersih yang diupayakan Mbah Sadiman itu. Ini sangat memalukan sebenarnya. Bukannya membantu malahan justru sering mengganggu, padahal mereka sangat terbantu upaya Mbah Sadiman," ujar Suranto, ketua kelompok pengadaan air warga Desa Geneng, Kamis (27/8)

"Kami harus jujur mengatakan bahwa Mbah Sadiman ini pahlawan. Dulu banyak orang mencibir dan bahwa menilainya sebagai orang kurang waras karena setiap hari menanami lahan yang bukan miliknya dan pasti tidak memetik hasil untuk menebang atau menjualnya karena itu di lahan hutan. Namun sekarang seluruh warga menikmati hasil jerih-payah itu karena air kembali melimpah," ujar Wagiyono, Wakil Ketua Lingkungan Masyarakat Dekat Hutan (LMDH) Desa Geneng.

Mbah Sadiman merasa malu jika semasa hidupnya tak pernah melakukan kebaikan. Dia berlepas dari keinginan membuat pencitraan untuk tampil di permukaan sebagai pahlawan namun tak sedikitpun menyentuh akar persoalannya. Dia langsung bertindak, berbuat dan berkarya kemampuan dan ruang gerak yang dimampukan baginya. 

Akhirnya Sadiman adalah jawaban atas seribu slogan tentang pembangunan. Moral dan mentalitasnya berbuah kebaikan yang akan terus terpatri di benak generasi mendatang, tanpa dia harus berkoar tentang revolusi mental.

Mbah Sadiman mengajarkan kita tentang berkarya, berbuat kebaikan untuk masa depan tanpa merasa sebagai orang yang penting karena bersahabat dengan alam adalah bagian dari kewajiban kita sebagai bagian alam raya. Darinya kita mengambil makna tentang mengabdikan kebaikan kepada kemanusiaan tanpa rasa ingin memetik hasilnya.

Kita harus berkaca, di saat kita telah sok merasa penting, apakah kita telah mampu berbuat banyak dalam menjaga kebaikan bersama dan nilai kemanusiaan seperti Mbah Sadiman. Kita harus berkaca, di saat kita masih menginginkan sesuatu yang berlebih, Mbah Sadiman mengajarkan kesahajaan. Sebab konon separuh kerusakan yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh orang-orang yang merasa penting, sedangkan separuhnya lagi akibat dari orang-orang serakah. 

No comments:

Post a Comment