Saturday, September 25, 2021

Yusril Merasa PD Serang Pribadinya dan Tak Tentu Arah

Pengacara kondang Yusril Ihza Mahendra menjadi pengacara empat mantan kader Partai Demokrat (PD) yang mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung (MA) mengenai AD/ART PD. Politikus PD bereaksi terhadap Yusril. Yusril merasa reaksi para politikus PD itu seperti serangan dewa mabuk.

"Tidaklah tepat para kader PD menyerang pribadi saya. Mereka seperti kehabisan argumen untuk membantah, lantas menggunakan 'jurus dewa mabok' untuk melawan. Saya kira, cara-cara seperti itu bukanlah cara yang sehat dalam membangun hukum dan demokrasi," kata Yusril saat dimintai tanggapan oleh wartawan, Sabtu (25/9/2021).

Yusril menyampaikan hal itu menanggapi politikus Partai Demokrat Andi Arief yang mengungkit masa lalu perjalanan politik famili Yusril, termasuk menyebut-nyebut soal pertemuan dengan Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang sempat berupaya 'mengkudeta' Ketua Umum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Selain Andi Arief, ada pula elite Parti Demokrat Rachland Nashidik yang juga menanggapi Yusril dan mengaitkan langkah Yusril dengan siasat politik Moeldoko. Yusril sendiri tidak memandang perkubuan PD yang dihuni kliennya.

"Apa yang saya lakukan adalah tindakan profesional yang dilindungi oleh UU Advokat. Advokat tidak bisa diidentikkan dengan klien," kata Yusril, advokat yang juga dikenal sebagai politikus Partai Bulan Bintang dan mantan menteri.

Yusril menyarankan agar PD menyiapkan 'pendekar-pendekar hukum' untuk menghadapi judicial review AD/ART PD di MA. Yusril tahu ada nama-nama kelas berat di PD yang tergolong sebagai jagoan hukum.

"Mereka punya orang-orang sekaliber Amir Syamsudin dan Benny K Harman yang saya yakin mampu berargumen secara hukum. Bukan ungkit sana, ungkit sini. Serang sana, serang sini tidak tentu arah," kata Yusril.

Untuk membandingkan posisinya saat ini, Yusril menceritakan saat dia menjadi kuas hukum Aburizal Bakrie (Ical) dari Partai Gorkal. Saat itu, Golkar juga sedang dilanda konflik internal. Di sebarang Ical saat itu, ada kubu Agung Laksono. Saat itu, Yusril merasa tak ada yang menyerangnya sebagaimana saat ini dia diserang politikus PD.

"Saya kira kader-kader PD seperti Andi Arief dan Rachland Nasidik seyogianya mampu menunjukkan kedewasaan dalam bersikap," kata Yusril.

Selanjutnya, reaksi Andi Arief dan Rachland yang digolongkan Yusril sebagai jurus dewa mabuk:

Yusril menyebut langkah hukum yang dia kawal saat ini bukanlah gugatan, melainkan permohonan keberatan pengujian formil dan materiil ke MA.

Sebelumnya, elite Partai Demokrat yang diketuai AHY, Andi Arief menyoroti perubahan sikap dalam isu ini. Dia menyebut perubahan sikap itu terjadi setelah pertemuan dengan Moeldoko.

"Poin saya adalah, perubahan sikap menafsirkan ad/art Demokrat 2020. Pilkada 2020 anggap sah, tapi setelah bertemu KSP Moeldoko 2021 kenapa berubah malah menggugat," cuit Andi Arief melalui akun Twitter-nya.

Elite PD, Rachland Nashidik mengkritik netralitas Yusril. Yusril justru dinilai memihak dan mendapat keuntungan dari praktik politik Moeldoko.

"Yusril Ihza Mahendra mengaku netral dalam skandal pembegalan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia mengaku menjadi kuasa hukum Moeldoko hanya karena peduli pada demokratisasi dalam tubuh partai politik," kata Elite Partai Demokrat, Rachland Nashidik, dalam keterangannya, Jumat (23/9) kemarin.

"Tapi skandal hina pengambil-alihan paksa Partai Demokrat oleh unsur Istana, yang pada kenyataannya dibiarkan saja oleh Presiden, pada hakikatnya adalah sebuah krisis moral politik. Dan orang yang mengambil sikap netral dalam sebuah krisis moral, sebenarnya sedang memihak pada si kuat dan si penindas," lanjutnya.

Tuesday, January 17, 2017

Diancam 'Diserbu' Massa, Polres Bogor Terima Laporan Ahok

Saksi pelapor kasus dugaan penistaan agama, Willyudin Dhani, mengaku sempat ditolak saat melaporkan kasus yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke Polres Kota Bogor.

Polisi beralasan peristiwa tersebut terjadi di Kepulauan Seribu, Jakarta, sehingga pelapor mestinya melapor ke Polres Kepulauan Seribu.

Hal ini diungkapkan Willyudin saat menjadi saksi pelapor dalam sidang kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (17/1). 

Willyudin mengatakan, usai ditolak, kemudian ia berkonsultasi dengan bagian reserse kriminal. Saat itu Willyudin mengingatkan pada anggota polisi, jika laporannya tidak diterima maka ribuan orang akan datang ke Polresta Bogor.


"Bukan saya mengancam, tapi ini amanah dari kawan-kawan. Saya berharap laporan ini diterima," ujar Willyudin.

Willyudin pun diarahkan ke tempat pelaporan dan memberikan keterangan terkait peristiwa tersebut. Dalam laporannya, ia mengaku mengetahui peristiwa tersebut usai melihat tayangan video pidato Ahok di rumahnya, Tegalega, Bogor, pada 6 Oktober 2016. 

Sekretaris Forum Umat Islam Bogor ini mengaku juga sempat memperbaiki tulisan tanggal 6 September 2016 yang tercantum dalam laporan. Saat itu anggota polisi berjanji akan memperbaikinya. 

"Saya coret tanggal 6 September itu. Mana mungkin kejadian baru kemarin (27 September 2016) ditulis 6 September 2016. Katanya mau dibenarin lagi," tuturnya. 

Prasangka Baik

Saat pengecekan, Willyudin memastikan bahwa penulisan tanggal itu telah diubah menjadi tanggal 6 Oktober 2016. Namun ia mengaku tak memeriksa kembali saat pengecekan terakhir. 

"Yang terakhir saya tidak lihat, langsung tanda tangan. Saya husnudzon (prasangka baik) saja," ucap Willyudin. 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara sebelumnya menegur anggota Polresta Bogor Brigadir Polisi Satu Ahmad Hamdani karena menerima laporan Willyudin.

Majelis hakim mengatakan, peristiwa itu mestinya dilaporkan ke Polres Kepulauan Seribuan mengingat locus delicti atau lokasi kejadian ada di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Sebelumnya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tim pengacara menemukan kejanggalan mengenai lokasi kejadian dan tanggal saat kasus penistaan agama tersebut dilaporkan.

Dari laporan Willyudin tercantum tanggal 6 September 2016 dengan lokasi penodaan agamanya di Tegalega, Bogor. Padahal, pidato Ahok di Kepulauan Seribu terjadi pada 27 September 2016.  (rel/asa)

Disebut Rizieq 'Jenderal Hansip', Kapolda Metro: Saya Ketawa Saja

 Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dilaporkan seorang warga bernama Edy, atas ceramahnya yang menyebut Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M Iriawan sebagai 'jenderal otak hansip'. Lalu apa komentar Irjen M Iriawan?

"Kalau saya sih ketawa saja saudara Rizieq bilang begitu," ujar Irjen Iriawan kepada wartawan di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (17/1/2017).

Iriawan pun menyindir Rizieq sebagai orang paling benar. "Memang Rizieq itu akhlaknya paling baik di Indonesia dan otaknya paling pintar. Saya dibilang bodoh ya ketawa saja," jelas Iriawan.

Ucapan Rizieq itu, dinilai Iriawan dapat menimbulkan ketersinggungan dari kelompok satuan hansip (pertahanan sipil). Rizieq pun harus bertanggung jawab atas ucapannya yang dinilainya telah menyinggung hansip tersebut.

"Nanti ada yang tersinggung Hansip, ya tanggung resiko kenapa saudara Rizieq bicara seperti itu. Kalau ada hansip-hansip tersinggung dibilang otaknya gak ada. Kalau saya yang bilang Rizieq, ya ketawa," terang Iriawan.

Dalam laporan bernomor LP/193/I/2017/PMJ/Ditreskrimsus, Edy melaporkan Rizieq atas dugaan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Dalam laporannya itu, Edy mempersoalkan ceramah Rizieq yang dilihatnya di Youtube pada tanggal 12 Januari 2017 sekitar pukul 21.00 WIB. Dalam ceramah tersebut, Edy mengatakan bahwa Rizieq telah menebar kebencian berdasarkan SARA.

"Di Jakarta Kapolda menodong akan mendorong gubernur Bank Indonesia untuk melaporkan Habib Rizieq, pangkat jenderal otak hansip. Sejak kapan jenderal bela palu arit," isi ceramah Rizieq yang kemudian dilaporkan oleh Edy itu.

Anies Ragukan Lembaga Survei jika Berafiliasi dengan Cagub-Cawagub

Calon gubernur DKI Jakarta nomor pemilihan tiga, Anies Baswedan, menuturkan publik harus menilai sebuah lembaga survei berdasarkan kebenaran data dan kebenaran afiliasinya. 

Hal itu dia sampaikan saat menanggapi hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA mengenai elektabilitas pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta. 

"Bila lembaga-lembaga itu melakukan survei, saya selalu katakan, bukan hanya tentang datanya, sumber datanya, tapi juga sumber-sumber afiliasinya, nampaknya perlu dicek," kata Anies, usai berkampanye di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa (17/1/2017) siang. 

Menurut Anies, jika lembaga survei terbukti memiliki afiliasi dengan salah satu pasangan calon maka hasil surveinya patut diragukan. 

Meski demikian, dia tak menyebut lembaga survei mana yang berafiliasi dengan pasangan cagub-cawagub DKI.

"Kebenaran data dan kebenaran afiliasi. Karena, begitu ada afiliasi, sering obyektivitas terganggu. Datanya tentu bisa dicek, dan metodenya harus dipastikan," tutur Anies.

(Baca: LSI Denny JA: Elektabilitas Anies-Sandi Cenderung Stagnan)

LSI pimpinan Denny JA merilis survei terbaru terkait Pilkada DKI Jakarta 2017. Survei itu dilakukan pada 5-11 Januari 2017. 

Hasilnya, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murnimemiliki elektabilitas 36,7 persen, elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat 32,6 persen, dan elektabilitas Anies Baswedan-Sandiaga Uno 21,4 persen. 

Survei itu dilakukan terhadap 880 responden dengan cara tatap muka menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, dan FGD. 

Metode penelitian yang digunakan ialah multistage random sampling dengan margin of error lebih kurang 3,4 persen. Survei ini dibiayai menggunakan dana internal LSI Denny JA.

LSI Denny JA: Ahok-Djarot Akan Kalah pada Putaran Kedua

 Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA mengadakan survei terbaru terkait Pilkada DKI Jakarta 2017. Salah satu yang diukur dalam survei tersebut ialahhead to head pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-DjarotSaiful Hidayat dengan dua penantangnya.

Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa, mengatakan, Ahok-Djarotdiprediksi kalah pada putaran dua, baik berhadapan dengan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni maupunAnies Baswedan-Sandiaga Uno.
"Ahok-Djarot akan kalah telak di putaran kedua siapa pun lawannya nanti," ujar Ardian saat merilis hasil survei di Kantor LSI Denny JA, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (17/1/2017).
Jika berhadapan dengan Agus-SylviAhok-Djarot dipilih oleh 33,9 persen responden. Sementara itu, Agus-Sylvi dipilih oleh 48,1 persen dan sisanya sebanyak 18,0 persen belum menentukan pilihan atau tidak menjawab.
Kemudian, jika berhadapan dengan Anies-Sandi, elektabilitasAhok-Djarot sebesar 29,7 persen dan Anies-Sandi 41,8 persen. Sementara itu, 28,5 persen responden tidak menjawab.
Selain itu, survei tersebut juga mengukur keinginan warga terkait gubernur yang akan memimpin Jakarta. Hasilnya, mayoritas responden menginginkan gubernur baru.
"Survei LSI Denny JA Januari 2017 menunjukkan bahwa mereka yang ingin gubernur baru sebesar 58,4 persen. Hanya 26,4 persen yang tetap menginginkan gubernur lama menjabat kembali. Mereka yang 26,4 persen adalah pendukung die hard Ahok," kata Ardian.
Salah satu alasan responden tidak ingin Ahok kembali menjadi gubernur ialah terkait kasus dugaan penodaan agama yang kini menjeratnya.
Sebanyak 85,9 persen respoden mengetahui Ahok menjadi terdakwa, 60,4 persen dari persentase tersebut menyatakan tidak rela jika seorang terdakwa menjadi gubernur mereka.
Dalam survei terbaru LSI Denny JA, elektabilitas Agus-Sylvi 36,7 persen, Ahok-Djarot dipilih oleh 32,6 persen responden, danAnies-Sandi memiliki elektabilitas 21,4 persen. Sementara itu, 9,3 persen lainnya belum menentukan pilihan. Survei LSI Denny JA ini dilakukan terhadap 880 responden dengan cara tatap muka menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, dan FGD.
Metode penelitian yang digunakan ialah multistage random sampling dengan margin of error lebih kurang 3,4 persen. Survei ini dibiayai menggunakan dana internal LSI Denny JA.